
Tipisnya Perlindungan Hukum dan Jaminan Sosial Terhadap Gig Worker
Oleh:
Anindya Yustika
(Kader HMI Hukum Brawijaya Angkatan 2021)
Berbagai disrupsi pada dekade terakhir ini telah memicu peningkatan dalam penggunaan teknologi informasi sehingga platform ekonomi juga mengalami perkembangan pesat. Perkembangan demikian memicu maraknya jenis dan skema pekerjaan berbasis kontrak jangka pendek, seperti pekerja lepas (freelancer) yang diupah sesuai jumlah permintaan (on-demand), magang, alih daya (outsourcing), berjualan secara daring, dan lain sebagainya. Hal ini melahirkan fenomena gig economy sebagai bentuk ekonomi masa depan. Gig economy membuka pasar tenaga kerja yang identik dengan karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer) melalui fleksibilitas yang luas. Dimensi pekerjaan berbasis gig ini dianggap dapat menciptakan kesempatan pekerjaan lintas negara maupun pendapatan tambahan. Namun fenomena ini dicirikan sebagai kerja yang precarious (rentan) dengan upah murah dan tidak terlindungi secara hukum.
Fenomena gig economy telah berkembang di seluruh dunia, terutama di wilayah Asia Pasifik, bahkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara muda di benua Asia lebih cepat daripada negara maju. Berdasarkan data dari World Bank tahun 2019, tenaga kerja independen di wilayah Asia Tenggara mengalami peningkatan sebesar 30% dan semakin meningkat pada tahun 2020 selama pandemi.[1] Laju peningkatan ini didasari atas nilai-nilai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kerja. Tidak dapat dipungkiri fleksibilitas yang memungkinkan para pekerjanya mencari cara dan sarana untuk menambah penghasilan lain dalam gig economy menjadi nilai unggul yang memicu lonjakan minat atas bisnis di ranah ini.
Adapun ciri khas dari gig economy yang tidak dapat dilepaskan darinya, yakni adanya pihak yang memerlukan jasa pekerjaan, tidak ada hubungan kerja standar antara majikan dengan karyawan, dan adanya perusahaan platform perantara yang bertindak sebagai broker.[2] Platform yang dimaksud di sini memungkinkan terbentuknya pekerjaan-pekerjaan yang bersifat lepas. Dalam hal ini terdapat dua macam pekerja lepas yang dikenal, yakni yang bersifat independen dan yang melalui perusahaan platform perantara. Pekerja lepas yang bersifat independen tidak ada keterikatan sama sekali maupun memiliki hubungan kerja dengan suatu organisasi atau perusahaan sehingga layanan yang diberikan hanya sesuai dengan permintaan.
Indonesia menjadi salah satu negara dimana fenomena gig economy ini berkembang pesat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pekerja paruh waktu di Indonesia sebanyak 34,13 juta orang pada Agustus 2022.[3] Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa model bisnis di Gojek, Grab, dan Maxim merupakan penopang ekonomi nasional dan telah memberikan kontribusinya untuk meningkatkan lapangan pekerjaan di Indonesia.[4] Pola pekerjaan gig economy cenderung menimbulkan fragmentasi pekerjaan karena memecah jenis kerja berdasarkan unit pekerjaannya. Dengan ini maka sebagian besar gig worker merupakan kategori pekerja lepas dan tidak menggantungkan kewajiban terhadap pemberi kerjanya untuk memberikan jaminan-jaminan sebagaimana dipahami dalam konsep kerja pada umumnya.
Sebagai pekerjaan dengan kategori non-standard employment, konsep gig worker yang seperti ini menimbulkan dilema karena di satu sisi fleksibilitas dari pekerjaan ini memberikan keleluasaan untuk menyelesaikan pekerjaannya kapan saja dan di mana saja. Tingkat fleksibilitas yang tinggi ini memberikan keuntungan bagi perusahaan dan negara karena dapat mendorong efisiensi namun tetap melindungi perputaran roda ekonomi dalam negeri. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mendiversifikasi aturan dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar.[5] Dikarenakan argumen tersebut, gig economy menjadi sektor yang menjanjikan bagi negara dan menguatkan pertumbuhan ekonomi dalam menghadapi ketidakpastian global di era triple disrupsi ini.
Peluang ini seharusnya diimbangi dengan pengokohan perlindungan hukum dan jaminan sosial bagi gig worker yang cenderung diabaikan demi prospek ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 yang secara jelas menyatakan bahwa setiap upaya pembangunan ekonomi wajib dilaksanakan dengan melibatkan kontribusi masyarakat sehingga seharusnya setiap upaya pembangunan ekonomi yang dijalankan pemerintah sudah semestinya memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Dalam gig economy, jenis pekerjaan yang dilakukan umumnya memiliki hubungan berupa partner atau mitra sehingga perusahaan gig tidak punya andil di dalamnya. Pengertian kemitraan tidak ditemukan baik dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) maupun UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), kecuali yang berbentuk PKWT pada Pasal 80 UU Cipta Kerja dan alih daya pada Pasal 64 UU Cipta Kerja. Namun kemitraan disebutkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang diartikan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
Hubungan kemitraan tersebut hanya dalam lingkup hubungan kerjasama pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa setiap orang dapat mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Hubungan dalam pelaksanaan kerja yang terjadi hanya dalam batas-batas kesepakatan saja sehingga hak-hak yang didapatkan oleh gig worker didapatkan melalui isi perjanjian kerja. Akibatnya, para gig worker tidak mendapatkan hak-hak dan perlindungan hukum selayaknya karyawan dari perusahaan gig tersebut. Sedangkan hubungan kerja pada umumnya membutuhkan pemenuhan dari tiga unsur yang bersifat kumulatif, yaitu pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam perjanjian kerja tersebutlah hal-hal penting seperti syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak akan tercantum.
Konsep kemitraan yang terjadi antara perusahaan platform dengan gig worker merupakan skema kemitraan semu (pseudo-partnership). Hal tersebut dikarenakan hubungan antara kedua belah pihak maupun lebih yang dilakukan secara berimbang sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya, terjadi ketimpangan diantara para pihak dimana gig worker lebih banyak dirugikan daripada perusahaan platform karena mereka belum tentu memiliki pemahaman terhadap substansi dari hubungan tersebut.[6] Dalam skema kemitraan yang terjalin antara penyedia platform dan pekerja manggung (kurir), penyedia platform memiliki kontrol yang lebih besar daripada kurir dalam setiap pengambilan kebijakan. Tindakan penyedia platform bertentangan dengan konsep kemitraan yang harus menjunjung tinggi posisi tawar.[7]
Dengan begitu, para pekerja dalam ranah gig di Indonesia menduduki posisi yang paling rendah pada tingkatan perlindungan bagi pekerja, bahkan lebih rendah dari pekerja kerah biru yang telah dilindungi oleh UU Cipta Kerja. Pekerja gig hampir tidak mempunyai perlindungan dan jaminan kerja, baik berupa pekerjaan, pendapatan, maupun perlindungan sosial. Data dari Google dan Temasek mengatakan bahwa terdapat sekitar 150 juta individu pekerja independen di Indonesia dan 50% diantaranya mengalami kesulitan akses ke berbagai layanan finansial.[8] Sedangkan catatan dari Gigacover menemukan bahwa lebih dari 50% pekerja independen di Indonesia lebih memilih uang tunai dan perlindungan kesehatan sebagai tunjangan pilihannya.[9] Kelompok ini juga tidak dimasukkan dalam bagian yang harus mendapat hak dari pemberi kerja sehingga suatu produk harus dibayarkan terlebih dahulu untuk melindungi dirinya sendiri.
Hal ini membuat tingkat keadilan dan kesejahteraan bagi gig worker cenderung rendah. Sebagian besar dari kelompok pekerja tersebut masih dibayar dengan murah (underpaid), waktu kerja di luar batas normal (overtime), dan kerja berlebih (overwork) dengan tidak adanya perlindungan sosial maupun jaminan pendapatan layak dalam jangka panjang. Berbeda dengan tenaga kerja sektor formal lainnya di Indonesia yang secara jelas diatur oleh peraturan perundang-undangan, gig worker seakan-akan dipandang sebelah mata oleh pemerintah karena masih diklasifikasikan sebagai hubungan di luar kerja antara buruh dan pengusaha sehingga hubungan kemitraan, persoalan pengaturan kerja, dan pembagian hasil kerja masih belum diatur. Hubungan tersebut dibangun tanpa adanya kontrak formal dan hanya didasarkan pada mekanisme pasar.
Dikarenakan tidak adanya ketentuan maupun batasan yang pasti, perusahaan platform dapat memberi upah pada gig worker serendah mungkin dengan pembebanan kerja yang lebih berat dan waktu kerja yang lebih lama. Keadaan yang demikian memberikan arah bagi iklim gig economy menjadi tidak manusiawi bagi para pekerjanya. Dengan begitu, perlu adanya diskursus hukum yang memberikan kejelasan dan melindungi hak-hak yang seharusnya didapatkan gig worker dalam sistem hukum nasional.
Dapat dilihat dari gig economy pada jenis layanan transportasi berupa ojek online dimana belum terdapat payung hukum yang memberikan naungan mengenai proses bisnis, melainkan hanya legalisasi bisnis melalui Pasal 137 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, dan Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat.
Peraturan perundang-undangan Indonesia lebih banyak mengatur kepentingan pengusaha, seperti legalitas maupun klasifikasi kendaraan, daripada perlindungan terhadap pekerjanya dalam proses bisnis. Hal tersebut memicu tingkat kerentanan kerja yang tinggi pada pengemudi ojek online karena tidak adanya kepastian dalam penawaran (orderan), tarif yang cenderung rendah, dan juga ketiadaan perlindungan sosial. Bahkan kerentanan ini justru digandakan terhadap jenis kelamin hingga ras tertentu.
Perlindungan menjadi prioritas utama bagi gig worker yang memberikan pondasi bagi keberlangsungan kelompok pekerjaan ini maupun peningkatan kesejahteraan terhadap pekerjanya. Hal ini dilakukan demi menjamin sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa adanya tekanan dari pihak yang lebih kuat kepada pihak yang lemah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan, imbalan, maupun perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.[10]
Pada hakikatnya, setiap warga negara telah diberikan jaminan konstitusional dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat untuk dilindungi dan diwujudkan kesejahteraannya oleh Negara. Hal ini juga dipertegas pada Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.[11] Hak pekerja berupa jaminan sosial telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun.[12] Tenaga kerja juga diberikan jaminan terkait dengan hak asasi manusianya melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Perlindungan hukum bagi gig worker dimaksudkan dalam rangka memberikan jaminan hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan baginya dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan ekosistem perekonomian negara dan kepentingan pengusaha. Selama ini pihak pengusaha yang mempekerjakan gig worker masih menganggapnya sebagai pihak yang lemah. Sedangkan dari pihak gig worker sendiri masih kurang memahami hak dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Fakta bahwa minimnya perlindungan hukum bagi gig worker memberikan keleluasaan bagi perusahaan-perusahan yang bergerak di dalam ranah ini untuk mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga sering terjadi pelanggaran hak-hak bagi pekerjanya.
Faktor pendidikan masih menjadi permasalahan yang menyongsong fenomena gig economy ini melambung karena sebagian besar tenaga kerjanya memiliki keterampilan rendah dan tanpa jenjang karir.[13] Faktor ini juga memicu sektor gig economy masih menempati posisi pemberian upah yang rendah karena dianggap pekerjaan yang tidak “mahal” dan dapat dilakukan dengan latar belakang pendidikan yang rendah.
Kekosongan hukum atas gig workers ini perlu diperbaiki dengan mengacu pada beberapa peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, yakni UU Cipta Kerja, UU Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU BPJS. Sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum maka berimplikasi terhadap perlu diberikannya payung hukum yang jelas bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara, termasuk juga dalam melindungi gig workers.
Ketidakadaan regulasi ini menimbulkan ketertindasan dan pemberian kesempatan terhadap perlakuan sewenang-wenang bagi gig workers yang tidak sesuai dengan tujuan nasional pada pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat. Negara seharusnya ikut dalam upaya melindungi setiap rakyatnya dengan memberikan pengaturan yang jelas dalam peraturan perundang-undangannya.
[1] Dwi Wulandari, 2021, Gig Economy Bertumbuh, Gigacover Hadirkan Layanan Finansial Baru, Mix.co.id, https://mix.co.id/marcomm/news-trend/gig-economy-bertumbuh-gigacover-hadirkan-layanan-finansial-baru/, (24 Juli 2023).
[2] Afifa Yustisia Firdasanti dkk, Mahasiswa dan Gig Economy: Kerentanan Pekerja Sambilan (Freelance) di Kalangan Tenaga Kerja Terdidik, Jurnal PolGov, Vol. 3, No. 1, 2021, hlm. 197
[3] Ridhwan Mustajab, 2022, Ada 34,13 Juta Pekerja Paruh Waktu di Indonesia per Agustus 2022, Dataindonesia.id,https://dataindonesia.id/tenaga-kerja/detail/ada-3413-juta-pekerja-paruh-waktu-di-indonesia-per-agustus-2022, (24 Juli 2023).
[4] DetikNews, 2019, Jokowi: Selamat Go-Jek Jadi Decacorn Pertama di Indonesia, https://news.detik.com/berita/d-4506966/jokowiselamat-go-jek-jadi-decacorn-pertama-di-indonesia, (24 Juli 2023).
[5] Afifa Yustisia Firdasanti dkk, Op.Cit.
[6] Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Yogyakarta: Gava Media, 2004, hlm. 130-131.
[7] Christian D. Simbolon, 2021, Indonesia PerluBelajar dari Eropa Melindungi Buruh Aplikasi, https://www.alinea.id/politik/indonesia-perlu-lebih-progresif-melindungi-mitra-gojek-cs-b2c3b93zt, (24 Juli 2023).
[8] IndoTelko, 2021, Gig Economy di Asia Tenggara Meningkat (online), https://www.indotelko.com/read/1627012836/gigeconomy, (24 Juli 2023).
[9] Ibid.
[10] Yuliana Y Yuli W dkk, Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perjanjian Kerja Antara Perusahaan Dan Tenaga Kerja Di Perseroan Terbatas (PT), Jurnal Yuridis, Vol. 5, No. 2, 2018, hlm. 205.
[11] Khairani, Kepastian Hukum Hak Pekerja Outsourcing, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 28.
[12] Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 125.
[13] Irna Rahmawati dan Arinto Nugroho, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Harian Lepas Yang Bekerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Secara Lisan Bidang Jasa Konstruksi (Studi Kasus Pekerja Harian Lepas Pt. Pillar Permata), Novum: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 4, 2017, hlm. 11.